Subscribe Us

Header Ads

Jalan Spiritual Ibnu Athaillah

ZIARAH: Di pelataran masjid di mana makam Syekh Ibnu Athaillah berada di dalamnya. 


SAYA dapat memahami mengapa Wakil Presiden K.H Ma’ruf Amin sangat berkeinginan berziarah ke Makam Syekh Ibnu Athaillah. Hal ini beliau sampaikan ketika akan bertolak dari Dubai, Uni Emirate Arab (UEA) menuju Kairo, Mesir, Jumat (04/11/2022). 

Kesempatan untuk berziarah ke Makam Syekh Ibnu Athaillah itu akhirnya tiba. Sabtu (05/11/2022), di tengah agenda kegiatan di Kairo, Wapres beserta Ibu Hj. Wury Ma’ruf Amin menyempatkan diri melakukan ziarah.

Seperti lazimnya makam para nabi, orang saleh, dan wali, makam Syekh Ibnu Athaillah juga dibangun masjid di sekitarnya. Masjid ini juga menjadi salah satu pusat taklim hingga saat ini. Begitu antusiasnya Wapres menanyakan tentang banyak hal ketika berziarah. Kesempatan itu pun tak kami sia-siakan untuk menggali lebih dalam tentang nama besar Syekh Ibnu Athaillah.

Sebagai informasi, Ibnu Athaillah merupakan seorang sufi terkemuka di dunia yang mempunyai nama lengkap Syekh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Athaillah As-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan wafat di Kairo pada 709 H/1309 M. Julukan As-Sakandari merujuk kota kelahirannya, Iskandariah.

Penulis kitab tasawuf bertajuk al-Hikam tersebut memang sangat populer di kalangan santri pesantren dan masyarakat muslim Indonesia. Popularitas ini merujuk pada kegiatan pengajian yang tidak hanya berlangsung di kalangan santri pondok pesantren, melainkan juga masyarakat Islam pada umumnya.

Hampir seluruh pesantren di Jawa dan Madura, terutama yang berbasis organisasi sosial keislaman Nahdlatul Ulama (NU), menjadikan kitab al-Hikam sebagai salah satu bacaan wajib para santrinya.

WISATA RELIGI: Makam Ibnu Athaillah telah menjadi obyek wisata religi bagi umat muslim saat berkunjung ke Kairo, Mesir.


Pada pelbagai kesempatan, sebagai ulama NU, Wapres sering menukil pendapat Ibnu Athaillah. Salah satunya saat memberikan arahan pada Milad Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-47 di Hotel Sultan Jakarta pada Selasa (26/07/2022). Wapres mengutip pendapat Ibnu Athaillah bahwa segala perbedaan atau kebhinekaan di dunia ini tidak perlu menjadi kekhawatiran. Yang perlu dikhawatirkan adalah dorongan hawa nafsu yang tidak terkendali. Relevansinya dengan kehidupan berbangsa adalah tidak boleh ada ego kelompok yang dapat merusak persatuan.

Banyak referensi yang bisa kita baca berkaitan dengan kemasyuran Ibnu Athaillah. Tulisan Zaenal Muttaqin bertajuk “Mutiara Pemikiran Sufistik Ibnu Atha’illah as-Sakandari”  mengulasnya dengan sangat dalam.

Kitab al-Hikam mendeskripsikan jalan-jalan spiritual yang harus ditempuh para penempuh jalan tersebut. Menyampaikan pesan bahwa cinta terhadap Allah mengharuskan seseorang menempuh medan perjalanan spiritual yang panjang dan terjal. Kitabnya ditulis dalam gaya bahasa yang indah tanpa menggusur kedalaman pesan yang ingin disampaikan.

ULAMA PRODUKTIF: Inilah makam Ibnu Atthaillah, penulis kitab al-Hikam yang sangat populer di kalangan santri nusantara.


Terdapat sekurangnya lima stasiun spiritual yang harus ditempuh seorang pejalan spiritual. Kelimanya, yakni taubat, pengosongan hati terhadap perkara dunia sekaligus mengisinya dengan cinta kepada Allah (zuhd), sabar (shabr), berpasrah atas kehendak-Nya (tawakal), dan penerimaan atas apa yang telah diberikan Tuhan (ridha). Dan, dalam perjalanannya, para pejalan spiritual akan menempati sejumlah kondisi (ahwal) seperti khauf, raja’, tawadhu, ikhlas, dan syukr yang harus diterima sebagai karunia, bukan hasil usahanya.

Berbeda dengan karya-karya yang lainnya seperti Lathaif al-Minan, Miftah al-Falah, dan Taj al-‘Arus, al-Hikam ditulis secara ‘hemat’ karena tidak mencantumkan rujukan berupa dukungan ayat, hadits dan berbagai argumentasi lainnya.


Mengutip keterangan peneliti Islam Indonesia Martin Van Bruinessen, kitab ini pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat Muslim Nusantara oleh 'Abd Al-Shamad bin 'Abd Allah Al Jawi Al-Palimbani (l. 1116 H/1704 M – w. 1203 H/1789 M).

Tingginya popularitas dan besarnya pengaruh al-Hikam dan Ibnu Athaillah dalam pengkajian dan pengamalan tasawuf nusantara sepertinya bukan perkara baru. Martin van Bruinessen mencatat, popularitas al-Hikam dan penulisnya menempati urutan kedua setelah Ihya ‘Ulum al-Din karya Imam Al-Ghazali. Indikasinya, keduanya merupakan kitab rujukan pengajaran tasawuf yang diajarkan di banyak pesantren di Indonesia.


Pokok-pokok Pikiran Ibnu Athaillah

Dalam bidang fikih, Ibnu Athaillah menganut dan menguasai madzhab Maliki. Sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarekat al-Syadzili. Bahkan ia dikenal luas sebagai seorang syekh besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah. Berikut adalah beberapa pemikiran Ibnu Athaillah:

Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.

Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

PERJALANAN SPIRITUAL: Bersama tim pendamping Wapres KH Ma'ruf Amin saat berziarah di makam Ibnu Athaillah.


Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas.

Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia.

Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.

Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Athaillah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya, serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.

DOA BERSAMA: Wapres KH Ma'ruf Amin dan Ibu Hj. Wury Ma'ruf Amin berdoa di depan makam Ibnu Athaillah.


Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa, shalat sunnah dan amal shalih lainnya.


Karya-karya Ibnu Athaillah

Ibnu Athaillah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya tulis yang telah dihasilkannya, mencakup bidang tasawuf, tafsir, hadits, akidah, nahwu, dan usul fikih.

Beberapa di antaranya adalah Kitab al-Hikam (Kebijaksanaan), al-Lathai’f Manaqib Abil al-Abbas al-Mursi wa Syekh Abi al-Hasan (Berkah dalam Kehidupan Abu Abbas al-Mursi dan Gurunya Abu Hasan), Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah (Kunci Kesuksesan dan Penerang Spritual), At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir (Eksposisi Pendekatan Tarekat Syadziliah), Taj al-Arus (Cara-cara Pembersihan Jiwa), serta Kitab al-Qaul al-Mujarrad fi al-Ismi al-Mufrad.

Kitab al-Hikam adalah buku yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, hingga saat ini. Buku ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.

Searah perkembangan teknologi gadget, aphorisma Ibnu Athaillah semakin populer dengan bermunculannya sejumlah aplikasi al-Hikam dalam telepon pintar (smartphone) android, baik berbahasa Arab, Inggris, maupun bahasa Indonesia. (*)

Post a Comment

1 Comments